.. إِنَّكَ لا تَهدى مَن أَحبَبتَ وَلٰكِنَّ اللَّهَ يَهدى مَن يَشاءُ ۚ وَهُوَ أَعلَمُ بِالمُهتَدينَ ..

"Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu sayangi, tetapi Allah memberi petunjuk
kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk." (AlQasas 28: 56)

Live Streaming

Bismillahirrohmaanirrohiim

"Engkau tidak akan menjadi seorang alim hingga engkau menjadi orang yang
belajar. Dan engkau tidak dianggap alim tentang suatu ilmu, sampai
engkau mengamalkannya."
...Abud Darda' Radhiallahu anhu...

23 September 2010

Ringan Dalam Menghukum

Ringan dalam Menghukum

Oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Bintu ‘Imran
Siapa pun mungkin mengetahui, kemampuan akal anak-anak tidak sesempurna yang ada pada orang dewasa. Anak memiliki kemampuan memahami dan mencerna yang masih sangat terbatas.
Karena itulah, kadangkala muncul kesalahan atau kekeliruan yang terkadang dia sendiri belum mampu memahami dan mengerti bahwa tindakannya itu adalah suatu kesalahan.
Menyogok mulut adik, contoh ringannya, terkadang bermula dari maksud baik untuk menyuapi si adik. Namun justru kadang menjadi kesalahan di mata orangtua, karena –sekali lagi dengan keterbatasan sang anak– belum mampu melakukannya dengan benar. Sementara dia sendiri belum mampu memandang hal itu sebagai suatu kesalahan.
Demikianlah keadaan seorang anak dengan segala keterbatasannya. Sehingga syariat pun meringankan beban amalan bagi anak kecil, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dinukilkan oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصِّبْيَانِ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَعْقِلَ
“Diangkat pena dari tiga golongan: orang yang tidur hingga dia terjaga, anak kecil hingga dia baligh, dan orang gila sampai kembali akalnya.” (HR. Abu Dawud no. 4403, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud: shahih)
Di samping itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghasung kita untuk bersikap lemah lembut dan menjauhi kekasaran dalam segala hal, termasuk kepada anak-anak kita tentunya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada istri beliau, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
يَا عَائِشَةُ، إِنَّ اللهَ رَفِيْقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ وَيُعْطِي عَلَى الرِّفْقِ مَا لاَ يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ وَمَا لاَ يُعْطِي عَلَى مَا سِوَاهُ
“Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya Allah itu Maha Lembut dan menyukai kelembutan, dan Dia memberikan pada kelembutan apa yang tidak Dia berikan pada kekasaran, maupun pada segala sesuatu selainnya.” (HR. Al-Bukhari no. 6928 dan Muslim no. 2593)
Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullahu menjelaskan bahwa dengan kelemahlembutan ini akan dapat dicapai berbagai tujuan, dan akan mudah pula untuk mendapatkan apa yang diharapkan, yang semua itu tak dapat diperoleh dengan selain kelembutan. (Syarh Shahih Muslim, 16/144)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memuji orang yang memiliki sifat lemah lembut, dalam sabda beliau yang dinukilkan oleh Abud Darda` radhiyallahu ‘anhu:
مَنْ أُعْطِيَ حَظَّهُ مِنَ الرِّفْقِ فَقَدْ أُعْطِيَ حَظَّهُ مِنَ الْخَيْرِ، وَمَنْ حُرِمَ حَظَّهُ مِنَ الرِّفْقِ فَقَدْ حُرِمَ حَظَّهُ مِنَ الْخَيْرِ
“Barangsiapa yang diberikan bagiannya berupa kelembutan, berarti dia diberikan bagiannya berupa kebaikan, dan barangsiapa dihalangi bagiannya berupa kelembutan, berarti dia dihalangi dari bagiannya berupa kebaikan.” (HR. At-Tirmidzi no.2013, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi: shahih)
Oleh karena itu pula kita, orangtua, mestinya berlapang-lapang dalam memberikan hukuman dan celaan pada anak-anak. Terlebih lagi pada hal-hal yang bukan merupakan kemaksiatan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling lapang dalam memudahkan perkara. Sebagaimana dikabarkan oleh istri beliau, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
مَا خُيِّرَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ قَطُّ إِلاَّ أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا، فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدُ النَّاسِ مِنْهُ
“Tak pernah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberikan pilihan di antara dua perkara, kecuali beliau pasti memilih yang paling ringan di antara keduanya selama perkara itu bukan suatu dosa. Apabila perkara itu suatu dosa, maka beliau adalah orang yang paling jauh darinya.” (HR. Al-Bukhari no.3560 dan Muslim no.2327)
Hadits ini menunjukkan disenanginya memilih sesuatu yang lebih mudah dan lebih ringan, selama hal itu bukan sesuatu yang haram atau makruh. (Syarh Shahih Muslim, 15/82)
Kelapangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini juga dialami sendiri oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang melayani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam semenjak usia kanak-kanak. Anas radhiyallahu ‘anhu menceritakan:
لـَمَّا قَدِمَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِيْنَةَ، أَخَذَ أَبُو طَلْحَةَ بِيَدِي فَانْطَلَقَ بِي إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ أَنَسًا غُلاَمٌ كَيِّسٌ فَلْيَخْدُمْكَ. قَالَ: فَخَدَمْتُهُ فِي السَّفَرِ وَالْحَضَرِ، وَاللهِ مَا قَالَ لِي لِشَيْءٍ صَنَعْتُهُ: لِمَ صَنَعْتَ هَذَا هَكَذَا؟ وَلاَ لِشَيْءٍ لَمْ أَصْنَعْهُ: لِمَ لَمْ تَصْنَعْ هَذَا هَكَذَا؟
“Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, Abu Thalhah menggamit tanganku. Pergilah ia bersamaku menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya Anas adalah anak yang cerdas, maka izinkan dia melayanimu.’ Maka aku pun melayani beliau ketika bepergian maupun menetap. Demi Allah, tak pernah beliau mengatakan tentang sesuatu yang kukerjakan, ‘Mengapa kau lakukan hal ini seperti ini?’ Tidak pula beliau mengatakan tentang sesuatu yang tak kukerjakan, ‘Mengapa tidak kaukerjakan hal ini seperti ini?’.” (HR. Al-Bukhari no.2768 dan Muslim no. 2309)
Ketika Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu –yang saat itu masih kanak-kanak– enggan melakukan sesuatu yang beliau perintahkan, beliau tidak mencerca dan menghukumnya. Dikisahkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَحْسَنِ النَّاسِ خُلُقًا، فَأَرْسَلَنِي يَوْمًا لِحَاجَةٍ. فَقُلْتُ: وَاللهِ، لاَ أَذْهَبُ. وَفِي نَفْسِي أَنْ أَذْهَبَ لِمَا أَمَرَنِي بِهِ نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَرَجْتُ حَتَّى أَمُرُّ عَلَى صِبْيَانٍ وَهُمْ يَلْعَبُوْنَ فِي السُّوقِ، فَإِذَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ قَبَضَ بِقَفَايَ مِنْ وَرَائِي، قَالَ: فَنَظَرْتُ إِلَيْهِ وَهُوَ يَضْحَكُ. فَقَالَ: يَا أُنَيْسُ، أَذَهَبْتَ حَيْثُ أَمَرْتُكَ؟ قَالَ قُلْتُ: نَعَمْ، أَنَا أَذْهَبُ، يَا رَسُوْلَ اللهِ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik akhlaknya. Suatu hari, beliau pernah menyuruhku untuk suatu keperluan. Maka kukatakan, “Demi Allah, saya tidak mau pergi!” Sementara dalam hatiku, aku berniat untuk pergi guna melaksanakan perintah Nabiyullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku pun keluar hingga melewati anak-anak yang sedang bermain-main di pasar. Tiba-tiba muncul Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau memegang tengkukku dari belakang. Aku pun memandang beliau yang sedang tertawa. Beliau mengatakan, “Wahai Anas kecil, engkau pergi juga melakukan perintahku?” Aku menjawab, “Ya, saya pergi, wahai Rasulullah!” (HR. Muslim no. 2310)
Ini semua menunjukkan kesempurnaan akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bagusnya pergaulan, serta kesabaran dan kelapangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Syarh Shahih Muslim, 15/70)
Namun jika suatu perkara itu merupakan perbuatan dosa, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tak segan untuk melarang. Seperti ketika cucu beliau makan sebutir kurma yang berasal dari kurma sedekah, sementara keluarga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam haram memakan sedekah. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menceritakan peristiwa ini:
أَخَذَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ تَمْرَةً مِنْ تَمْرِ الصَّدَقَةِ فَجَعَلَهَا فِي فِيْهِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ n: كِخْ كِخْ، ارْمِ بِهَا، أَمَا عَلِمْتَ أَنَّا لاَ نَأْكُلُ الصَّدَقَةَ؟
Al-Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma memungut sebutir kurma dari kurma sedekah, lalu dia masukkan kurma itu ke mulutnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Kikh, kikh (tinggalkan dan buang barang itu, pent.)! Buang kurma itu! Tidakkah kau tahu, kita ini tidak boleh makan sedekah?” (HR. Muslim no. 1069)
Juga dalam permasalahan membiasakan ibadah shalat pada anak-anak. Ketika mengajarkan amalan yang agung ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orangtua untuk memukul anak-anak yang enggan menunaikan shalat, meremehkan dan menyia-nyiakannya, jika mereka telah mencapai usia sepuluh tahun. Pukulan ini bukan untuk menyakiti si anak, melainkan untuk mendidik dan meluruskan mereka. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini disampaikan oleh ‘Amr ibnul ‘Ash radhiyallahu ‘anhu:
مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat ketika mereka berusia tujuh tahun dan pukullah mereka bila enggan melakukannya pada usia sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur di antara mereka.” (HR. Ahmad, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’ush Shaghir no. 5744: hadits ini hasan)
Demikian pula yang ada pada para sahabat. Mereka tidak segan bersikap keras bila melihat salah seorang dari keluarganya berbuat kemungkaran. Sebagaimana yang dilakukan oleh Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma ketika melihat salah seorang di antara keluarganya bermain dadu. Dikisahkan oleh Nafi’, maula Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma:
أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ إِذَا وُجِدَ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِهِ يَلْعَبُ بِالنَّرْدِ ضَرَبَهُ وَكَسَرَهَا
“Apabila Abdullah bin ‘Umar mendapati salah seorang dari anggota keluarganya bermain dadu, maka beliau memukulnya dan memecahkan dadu itu.” (Dikatakan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 960: shahihul isnad mauquf)
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah ditanya tentang pendidikan terhadap anak yatim. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pun menjawab:
إِنِّي لَأَضْرِبُ الْيَتِيْمَ حَتَّى يَنْبَسِطَ
“Sesungguhnya aku pernah memukul anak yatim sampai (menangis) tertelungkup.” (Dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no.105: shahihul isnad)
Begitulah yang dilakukan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, sebagaimana orangtua terhadap anaknya. Dia memberikan hukuman pula pada anak yatim yang ada dalam asuhannya, sampai tertelungkup di atas tanah, sebagaimana yang biasa terjadi pada anak-anak bila dimarahi, mereka telungkup dan menangis. Pukulan ini dimaksudkan untuk memberikan pendidikan kepada si anak, bukan pukulan yang menyakitkan.
Inilah bimbingan Islam yang sempurna untuk kita –orangtua– dalam membimbing dan mendidik anak-anak kita, agar kita dapat mendudukkan sesuatu sesuai kadarnya dan meletakkan sesuatu pada tempatnya. Inilah pengajaran kepada kita yang akan mempertanggungjawabkan pendidikan anak-anak kita di hadapan Allah k.
وَالْـمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُوْلَةٌ عَنْهُمْ
“Seorang istri adalah penanggung jawab rumah tangga dan anak-anak suaminya serta kelak akan ditanya tentang mereka.” (HR. Al-Bukhari no. 5188 dan Muslim no. 1829)
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
(www.asysyariah.com)

Baca selanjutnya...

20 September 2010

Jangan Biarkan Hati Anda Menderita Karena Hasad


oleh Moslem Channel pada 15 September 2010 jam 5:38

Hasad (dengki) merupakan penyakit hati yang berbahaya bagi manusia, karena penyakit ini menyerang si penderita dan meracuninya; membuat dia benci terhadap kenikmatan yang diperoleh saudaranya, dan merasa senang jika kenikmatan tersebut musnah dari tangan saudaranya.

Pada hakikatnya penyakit ini mengakibatkan si penderita tidak ridha dengan qadha dan qadar Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah: “Sesungguhnya hakikat hasad adalah bagian dari sikap menentang Allah ‘Azza wa Jalla, karena ia membuat si penderita benci kepada nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala atas hambanya; padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala menginginkan nikmat tersebut untuknya. Hasad juga membuatnya senang dengan hilangnya nikmat tersebut dari saudaranya, padahal Allah ‘Azza wa Jalla benci jika nikmat itu hilang dari saudaranya. Jadi, hasad itu hakikatnya menentang qadha dan qadar Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Lihat Al-Fawaaid hal.157, cetakan Darul Fikr – Beirut)

Penyakit ini sering dijumpai di antara sesama teman sejabatan, seprofesi, seperjuangan, atau sederajat. Oleh karena itu, tidak jarang dijumpai ada pegawai kantor yang hasad kepada teman sekantornya. Tukang bakso hasad kepada tukang bakso lainnya, guru hasad kepada guru, orang ahli ibadah atau Ustadz atau Kyai hasad kepada yang sederajat dengannya. Jarang dijumpai hasad tersebut pada orang yang beda kedudukan dan derajatnya, seperti tukang bakso hasad kepada Kyai, atau tukang becak hasad kepada Ustadz, meskipun tidak menafikan kemungkinan terjadinya.

Penyakit hasad hendaknya dijauhi oleh setiap Muslim, karena mudharat-nya sangat besar, terutama bagi si penderita, baik mudharat dari sisi agama maupun dunianya. Tidakkah kita ingat, kenapa Iblis dilaknat Allah ‘Azza wa Jalla? Tidak lain karena sikap hasad dan sombongnya kepada Adam ‘alaihis salam yang sama-sama makhluk Allah Ta’ala.

Dari sisi lain, hasad merupakan sifat sebagian besar Yahudi dan Nasrani, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla:

أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلَىٰ مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ

“Ataukah mereka (orang Yahudi) dengki kepada manusia (Muhammad dan orang-orang Mukmin) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya?” (QS. An-Nisaa’ [4] : 54)

Allah Ta’ala juga berfirman tentang hasad mereka:

وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ

“Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran.” (QS. Al-Baqarah [2] : 109)

Oleh sebab itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang orang Muslim dari sifat hasad tersebut, beliau bersabda:

لَا تَقَاطَعُوا وَ لَا تَدَابَرُوا وَ لَا تَبَاغَضُوا وَ لَا تَحَاسَدُوا وَ كُوْنُوا إِخْوَانًا كَمَا أَمَرَكُمُ اللهُ

“Janganlah kalian memutuskan tali persaudaraan, saling berpaling ketika bertemu dan saling membenci serta saling dengki. Jadilah kalian bersaudara sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah.” (HR. Muslim, lihat Shahih Muslim juz 8 hal. 10)



Sebab-sebab Hasad

Sumber dari penyakit hasad adalah cinta dunia, baik cinta harta benda, kedudukan, jabatan, maupun pujian manusia.

Dunia memang sempit, sering menyempitkan mereka yang memburu dan mencintainya, sehingga tak jarang mereka berjatuhan pada lembah hasad, karena takut kekayaan dunia tidak akan bisa dimiliki kecuali ia berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya dan berkurang jika dibelanjakan berbeda dengan akhirat yang sangat luas, seperti langit yang tak berujung dan seperti lautan yang tidak bertepi. Karena sangat luasnya, sehingga tidak menyempitkan orang yang memburu dan mencintainya, sebagaimana kita tidak menjumpai orang tidak berjejal-jejal untuk melihat keindahan langit di waktu malam, karena luasnya dan cakupannya terhadap setiap mata yang memandang.

Ibnu Sirin rahimahullah berkata: “Aku tidak pernah hasad pada seorangpun dalam masalah dunia, karena jika dia termasuk ahli surga, maka bagaimana aku hasad kepadanya dalam masalah dunia, padahal dia akan masuk surga. Dan jika termasuk ahli neraka, maka bagaimana aku hasad kepadanya dalam hal dunia, padahal dia akan masuk neraka.” (Raudhatul Uqala Wanuzhatul Fudhala hal.119, Cet. Maktabah Ashriyah – Beirut)

Jika tujuan seseorang adalah akhirat, maka hatinya bersih dari hasad, tenang, jernih, seperti air yang memancar dari mata air pegunungan, lembut bagaikan sutera, tidak ada tempat bagi hasad di dalamnya. Akan tetapi, jika tujuannya adalah dunia, maka hati sangat rawan terjangkit hasad, mudah ternoda dan keruh. Oleh sebab itu, bagi mereka yang mempunyai belas-kasihan terhadap hatinya, hendaknya ia meninggalkan cinta dunia dan menggantinya dengan cinta akhirat. Karena kenikmatan akhirat tidaklah menyempitkan orang yang memburunya. Ia adalah kenikmatan yang sesungguhnya, kenikmatan yang luar biasa, tidak sebanding dengan kenikmatan-kenikmatan dunia. Kenikmatan tersebut bisa dirasakan oleh orang yang sangat mencintainya, mencari, dan memburunya di dunia ini. Jika seseorang tidak ingin memburu kenikmatan hakiki tersebut, atau lemah keinginannya, maka dia bukanlah ksatria, karena yang memburu kenikmatan yang hakiki tersebut adalah ksatria. (Mukhtashar Minhajul Qashidin, hal.188-189, cet. Maktabah Darul Bayan – Damaskus. -Bittasharruf)



Obat Hasad

Setelah kita mengetahui bahwa hasad adalah penyakit hati yang berbahaya, maka tentunya kita ingin mengetahui obat dan terapi hasad tersebut.

Sebenarnya, penyakit hati yang satu ini tidaklah dapat diobati dengan pil atau kapsul dari Apotik atau dengan suntik, herbal, atau pijat urat, akan tetapi penyakit hati ini hanya dapat diobati dengan ilmu dan amal.

Adapun obat yang pertama adalah ilmu. Ilmu yang bermanfaat untuk mengobati hasad adalah pengetahuan tentang hakikat hasad itu sendiri. Diantaranya mengetahui bahwa hasad itu berbahaya bagi si penderita, baik bagi agamanya atau dunianya. Di dunia, hatinya selalu menderita dan tersayat-sayat, boleh jadi dia mati karenanya. Bagaimana tidak? Dia membenci orang lain yang mendapat kenikmatan dan mengharap nikmat tersebut musnah darinya. Padahal, hal itu telah ditakdirkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak akan musnah sampai saat yang telah ditentukan.

Orang yang hasad ibarat orang yang melempar bumerang kepada musuh. Bumerangnya tidak mengenai sasaran, tetapi bumerang itu kembali kepadanya, sehingga mengenai mata kanannya dan mengeluarkan bola matanya. Lalu dia bertambah marah dan kembali melempar kedua kalinya dengan lebih kuat. Akan tetapi, bumerang itu masih seperti semula, tidak menemui sasaran dan kembali mengenai mata sebelah kirinya sehingga dia buta. Kemarahannya pun tambah menyala-nyala, kemudian dia melempar ketiga kalinya denga sekuat tenaga, akan tetapi bumerang tersebut kembali mengenai kepalanya sampai hancur, sedangkan musuhnya selamat dan menertawakan dia, karena dia mati atas perbuatannya sendiri. Sedangkan di akhirat nanti, dia akan mendapat adzab dari Allah Ta’ala, jika hasad tersebut melahirkan perkataan dan perbuatan, karena statusnya adalah orang yang telah menzhalimi orang lain ketika di dunia.

Perlu diketahui pula bahwa hasad juga tidak berbahaya bagi orang yang dihasad, baik agama dan dunianya. Dia tidak berdosa dengan hasad orang lain kepadanya. Bahkan, dia mendapatkan pahala jika hasad terebut keluar berwujud perkataan dan perbuatan, sebab dia termasuk orang yang dizhalimi. Kenikmatan yang ada padanya juga tidak akan musnah karena hasad irang lain kepadanya, sebab kenikmatan tersebut telah ditakdirkan untuknya

Adapun obat kedua adalah amal perbuatan. Amal perbuatan yang manjur untuk mengobati hasad adalah melakukan perbuatan yang berlawanan dengan perbuatan yang ditimbulkan oleh hasad. Misalnya; gara-gara hasad, seseorang ingin mencela dan meremehkan orang yang dihasad. Jika seperti ini, hendaknya dia melakukan hal yang berbeda yaitu memuji orang yang dihasad tersebut. Kemudian jika hasad itu membuatnya sombong kepada orang yang dihasad, maka hendaknya tawadhu kepadanya. Jika hasad membuatnya tidak berbuat baik atau tidak memberi hadiah kepada orang yang dihasad, maka hendaknya ia melakukan sebaliknya, yaitu berbuat baik dan memberikan kepadanya hadiah. Dengan seperti ini, insyaAllah hasad di hati akan segera lenyap dan hati kembali sehat dan normal. (Mukhtashar Minhajul Qashisin hal.189-190, cet.Maktabah Darul Bayan, Damaskus. -Bittasharruf)



Adakah Hasad yang Diperbolehkan?

Mungkin di antara kita ada yang bertanya-tanya. Apakah benar hasad itu ada yang diperbolehkan? Jawabannya, marilah kita simak sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ حَسَدَ إِلَّا فِيْ اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَا لَا فَسَلَّطَهُ عَلَي هَلَكَتِهِ فِي الحَقِّ وَ رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَ يُعَلِّمُهَا

“Tidak ada hasad kecuali kepada dua orang. Yang pertama; kepada seseorang yang telah diberi harta kekayaan oleh Allah dan ia habiskan di jalan yang benar. Yang kedua; kepada sesorang yang telah diberi hikmah (ilmu) oleh Allah dan ia memutuskan perkara dengannya serta mengajarkannya.” (Muttafaq ‘alaih. Lihat Shahih al-Bukhari no. 6886, cet. Dar Ibnu Katsir – Beirut, dan juga Shahih Muslim no. 1933, cet. Darul Jiel dan Darul Auqaf al-Jadidah – Beirut)

Akan tetapi, hasad dalam hadits ini berbeda pengertiannya dengan hasad yang telah disebutkan di atas. Hasad yang ini disebut oleh para ulama dengan Ghibtah, yaitu menginginkan kenikamatan seperti yang telah diperoleh oleh orang lain dengan tanpa membenci orang tersebut, serta dengan tidak mengharapkan kenikmatan itu musnah darinya.

Syaikh Abdul Muhsin al ‘Abbad hafizhahullah dalam menjelaskan hadits di atas berkata: “Yang dimaksud hasad di sini adalah ghibtah.” (Syarah Sunan Abu Dawud hadits “iyyakum wa hasad”)

Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ghibtah adalah ingin mendapatkan kenikmatan sebagaimana yang diperoleh oleh orang lain dengan tanpa mengharapkan nikmat tersebut musnah darinya. Jika perkara yang di-ghibtah tersebut adalah perkara dunia, maka hukumnya adalah mubah (boleh). Jika perkara tersebut termasuk perkara akhirat, maka hukumnya adalah mustahab (disukai), dan makna hadits di atas adalah tidak ada ghibtah yang dicintai (oleh Allah Ta’ala) kecuali pada dua perkara (yang tersebut di atas) dan yang semakna dengannya. (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim Ibnul Hajjaj, juz 6 hal. 97, cet.2, Dar Ihya Turats al Arabi – Beirut)

Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.

Artikel ini diambil dari Majalah As-Sunnah Edisi Khusus (No. 06-07)/Tahun XIII/Ramadhan-Syawwal 1430 H/September-Oktober 2009M.

Penulis: Ustadz Nur Kholis bin Kurdian

Baca selanjutnya...

14 September 2010

Apa Susahnya Meminta Maaf

Apa Susahnya Meminta Maaf

 


Pertengkaran dalam rumah tangga, sering diibaratkan sebagai garam dalam sayuran. Kalau tak pernah ada, hidup berumah tangga rasanya hambar juga. Ada seorang istri yang suaminya tak pernah marah sekali pun, eh… sang istri  malah jadi penasaran, bagaimana rasanya dimarahi suami! Yang pasti, tipe suami atau pasangan yang tak pernah marah  itu amat langka!
Lazimnya, seharmonis apapun jalinan kasih antara pasutri, pasti pernah diwarnai oleh pertengkaran. Pertengkaran bisa terjadi mulai dari masalah sepele. Misalnya perbedaan selera. Bisa pula terjadi karena kesalahpahaman, kecemburuan, kekurangkompakan dalam menghadapi  keluarga besar, dan sebagainya.
Tak jarang pula kemarahan pasutri tersulut ketika tidak sabar menghadapi anak rewel, terutama dalam kondisi lelah. Sering terjadi, seorang suami marah-marah ketika anak balitanya menangis keras. Kemudian ia menyalahkan istrinya sebagai perempuan yang tidak pandai mengurus anak! Ya, begitulah.

Lalu, apa yang mesti kita lakukan ketika dimarahi pasangan? Yang paling aman, tentu bersabar. Kemudian meminta maaf karena telah membuatnya marah. Mungkin itu tak mudah, apalagi bila kita merasa tak sepenuhnya bersalah. Tapi itu sebaiknya tetap kita lakukan, khususnya bagi seorang istri yang selalu dituntut agar bisa menyenangkan dan mendapatkan ridha suami.
KETIKA SUAMI MERASA BERSALAH
Meminta maaf bagi seorang wanita mungkin lebih mudah. Berbeda dengan lelaki atau suami, biasanya egonya jauh lebih tinggi. Namun, ketika seorang suami marah dan bertengkar dengan istrinya, kadang ia pun tak luput dari “rasa bersalah”. Apalagi  setelah ia mengetahui, ternyata istrinya benar-benar tak bersalah.
Mungkin Anda bingung apa yang sebaiknya Anda lakukan untuk meredakan ketegangan yang terjadi di antara Anda berdua, dan bagaimana cara menjembatani berbagai perasaan negatif yang dirasakan. Setelah bertengkar dengan pasangan, pasti bermacam-macam perasaan menjadi satu dalam hati kita. Benci, marah, jengkel, kesal, takut, cemburu, cinta, dan perasaan lainnya.
Memang setelah bertengkar, kita perlu waktu dan ruang untuk kembali merenung. Kembali berpikir mengenai pokok pertengkaran dengan pasangan tadi. Setelah hati mulai kembali tenang, pasti ada keinginan ataupun rasa kangen yang mendalam terhadap pasangan. Biasanya Anda juga menjadi takut, jika pasangan ternyata masih menyimpan kemarahan pada Anda.
Sebenarnya, dalam situasi seperti inilah kesabaran, ketabahan, dan cinta Anda berdua sedang diuji. Apakah cinta yang Anda rasakan kental atau hanya mengalir seperti air sungai. Saat bertengkar itulah, Anda berdua dapat lebih dalam lagi melihatnya.
Jika cinta Anda sangat besar pada pasangan, jangan takut untuk memperlihatkannya! Apalagi setelah bertengkar, jangan biarkan kemarahan dan kekesalan terus berlanjut. Bukalah hati Anda dengan berbicara baik-baik padanya sambil lebih dulu meminta maaf atas segala kesalahan yang membuatnya kesal dan marah.
Memang berat rasanya jika Anda yang harus pertama kali mengucapkan kata “maaf”. Tetapi, yakinlah, pasangan Anda akan memperhatikan hal ini. Memperhatikan dan berbangga hati karena seseorang yang dicintai dan mencintainya ternyata punya jiwa yang besar, dan menyadari bahwa pertengkaran itu karena kekhilafan Anda.
Perlu Anda ketahui juga bahwa meminta maaf  bukanlah suatu hal yang membuat harga diri kita jatuh. Bukan pula berarti kita ingin menunjukkan bahwa dalam pertengkaran itu hanya Anda saja yang bersalah, bukan begitu. Justru, pasangan Anda akan sadar dengan sendirinya bahwa dirinya pun telah berbuat salah, makanya terjadi pertengkaran. Meminta maaf bukanlah suatu aib, karena Anda takkan dipandang sebagai seorang lemah dan tidak berkepribadian di mata si dia, akan tetapi sebaliknya.
Pasangan Anda juga akan terharu melihat keikhlasan Anda meminta maaf, dan akan berbangga hati karena mempunyai Anda yang dewasa dan berjiwa besar. Tentu saja hal itu akan selalu diingat sebagai satu perilaku yang patut ditirunya. Akhirnya, dengan adanya permintaan maaf ini, pasangan Anda akan tahu betapa besar cinta Anda terhadapnya, dan tidak ingin berpisah lagi dengan Anda.
Jangan lupa untuk mengikhlaskan diri dalam meminta maaf. Nah, selamat berbesar hati dan berdamai dengan pasangan Anda tanpa perlu turun gengsi!
TRIK MEMINTA MAAF
Ternyata, ada trik khusus agar kita lebih mudah mengucap kata maaf. Mau tahu?
  1. Putuskan waktu yang tepat untuk meminta maaf. Terkadang lebih cepat lebih baik, namun terkadang sebaliknya, akan lebih baik meminta maaf ketika perasaan sudah lebih tenang dan kepala sudah dingin.
  2. Kalau malu meminta maaf secara langsung, sampaikan maaf lewat tulisan, atau sms. Selain itu, Anda juga dapat mengutarakan isi hati Anda dengan berbagai cara. Lewat menulis surat dan meletakkannya di atas meja kerja pasangan Anda misalnya. Atau jika ingin membuatnya tersenyum, Anda dapat menulis permohonan maaf Anda dalam sebuah kartu bergambar lucu. Anda juga dapat mengirimkan bunga dengan ditulisi kata “maaf” dengan disertai puisi cinta romantis. Dijamin hatinya akan langsung luluh. Kalau mau mengutarakannya secara langsung, sertailah dengan pelukan dan kecupan mesra. Dijamin hatinya akan meleleh, berbalik tambah sayang dan cinta pada Anda. Di samping itu, katakan juga padanya bahwa Anda takkan mengulangi kesalahan itu.
  3. Jangan gunakan kalimat yang memperlihatkan bahwa sebenarnya Anda tidak menyesal. Misalnya, “Saya mengaku salah, tapi….”
  4. Meminta maaflah dengan sungguh-sungguh, akui benar kesalahan. Jangan cari pembenaran akan tindakan Anda.
  5. Tunjukkan bahwa permintaan maaf Anda tulus, dan keinginan Anda untuk memperbaiki hubungan memang kuat.
  6. Yang  terakhir, sabarlah. Tidak semua permintaan maaf akan langsung diterima. Berilah waktu baginya untuk memberi maaf.
MENJADI LEBIH ROMANTIS
Setelah “baikan”, lakukan refreshing bersama, misal jalan-jalan piknik, makan di luar dan sebagainya. Pokoknya, lakukan hal-hal yang menyenangkan bersama-sama. Insya Allah begitu hubungan Anda berdua akan menjadi lebih romantis dari sebelumnya! Satu lagi  yang lebih penting, jagalah diri Anda agar tidak melakukan kesalahan yang sama di hari-hari mendatang.(*)

Baca selanjutnya...

Labels

About This Blog

Followers

About

My photo
Rasulullah bersabda (yang artinya), "Sesungguhnya Islam pertama kali muncul dalam keadaaan asing dan nanti akan kembali asing sebagaimana semula. Maka berbahagialah orang-orang yang asing (alghuroba')."(hadits shahih riwayat Muslim)

  © Free Blogger Templates Blogger Theme II by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP